Spiritual Journaling : Trigger

Kehidupan gue sebelum gue merasa "kesadaran spiritual" atau spiritual awakening sama aja seperti kehidupan perempuan pada umumnya. Sekolah, kuliah lalu bekerja. Kebetulan gue belum menikah. So ya, gue ngga akan memulai cerita mundur sejauh saat masa sekolah gue atau masa kecil, karena bakal panjang banget. Walaupun gue tau childhood juga sangat mempengaruhi kita yang sekarang dan punya impact atau bahkan trauma sendiri.

Pertengahan tahun 2019, saat itu gue adalah karyawan perusahaan swasta gitu, ya biasalah budak korporat, 8 to 5 person banget. Pagi pagi masih ngantuk udah harus menerjang jalanan, macet macetan ke kantor. Di kantor kerja dengan segala dinamika nya, termasuk rasa penat dan dramanya. Pulang kerja, gue bukan tipe yang anak baik haha. Gue suka menghabiskan waktu untuk sekedar chilling out. Alhasil pulang sangat jarang tepat waktu. Hampir selalu larut.

Sedangkan kehidupan di keluarga, not always fine, but it's really grateful I have my family. They are so meant for me. And always support me whatever I am.

Tarik mundur sedikit ke awal tahun 2019, gue bener bener lagi hectic dan "merasa" lagi produktif produktifnya. But I don't know if that's true or not for sure. Lalu di rumah, bokap sedang di fase post retired. Dimana penuh dengan ketidakstabilan emosi. Emosi disini bukan hanya marah, tapi bisa sedih, overthinking, bingung, penat, melemahnya skill of life, menurunnya self confidence yang sedikit banyak mempengaruhi cara berkomunikasi, bersosialisasi dan terkesan perubahan drastis kepribadian. Itu juga berefek ke ranah kesehatan fisiknya. Atau mungkin awal trigger nya justru dari penurunan kesehatan. Entahlah mana yang duluan. 

Intinya keadaan rumah jadi agak sedikit memanas, dan nyokap yang merasa paling terimbas dari perubahan bokap. Beliau selalu berkeluh kesah ke gue, lebih tepatnya curi curi curhat ke anaknya ini. Karena to be honest gue hampir ngga punya waktu buat nyokap, weekday gue kerja dan pulang larut, weekend gue pake buat self rewards.

Dari sesi selingan curhat nyokap, gue jarang tanggapi dengan serius. I mean gue ngga terlalu pay attention banget. Gue pikir itu hanya curhat curhat biasa, yang ngga perlu gue pikirin solusinya. Gue hanya sekedar kasih semangat dan rasa sayang gue buat ngehibur nyokap.

Hal kaya gitu terus terusan terjadi. Nyokap curhat, gue kurang attention, lalu banyak bermunculan cerita "unik" tentang perubahan bokap saat itu. But yeah, come back again, I'm not too bothered about it.

Sampai pada akhirnya, satu moment, entah moment apa detailnya gue lupa. Gue liat sendiri dan bener bener pay full attention for my father change. Gue ngerasa bokap adalah orang yang berbeda, bukan bokap yang gue tau dan kenal karakternya. It got me thinking. Very hard. Gue flash back ulang curhatan curhatan nyokap tentang bokap dan itu gue mulai perhatikan. Sangat sangat gue perhatikan kehidupan nyokap dan bokap gue saat itu. 

Mulai terpikir untuk resign dari kantor untuk bisa cari kerjaan  atau usaha yang bisa bikin gue punya quality time yang lebih dari sebelumnya. Jujur agak berat secara logika, karena posisi gue di kantor sudah termasuk "aman".

Dan, seolah semesta membantu mempermudah jalannya, walau pelik. Hahaha. Mulai dari awal tahun 2020, mula muncul persoalan di ranah kantor secara pekerjaan, yang membuat gue jujur sangat tertekan. Tertekan dari segi beban pekerjaan, pergeseran fungsi kerja, pressure dari atasan atau rekan kerja, sampai pada satu titik yang membuat paling terluka, hahah too much. Gue ngga bisa bersuara atas ide dan kreatif gue sendiri dan bahkan gue diminta untuk merintis ide orang lain dan gue harus megakui itu adalah ide gue. Sepele buat sebagian orang. Tapi sangat "memukul" gue, benar benar gue merasa diri gue engga cukup berharga untuk mengutarakan ide sendiri dan seolah orang lain dengan sangat mudah nge-drive gue. Gue sangat paham, bahwa posisi gue adalah karyawan biasa. Mau ngga mau, suka engga suka ya harus ikut kata atasan. Jadi singkat cerita, gue mutusin untuk resign. Sekitar November 2020.

Resign dengan alasan utama yang engga pernah gue ungkap. Yaitu untuk bokap, untuk memiliki waktu yang berkualitas dengan keluarga. Karena gue adalah manusia dewasa yang memiliki banyak luka masa kecil, salah satunya kesepian. That's why gue mau memutus rantai setan penyakit kesepian ini. Gue mau "hadir" untuk keluarga. Bahkan jika gue hanya akan dibilang beban keluarga karena dianggap tidak lagi produktif. God knows everything beyond your perspective.

ANI LESTARI

No comments:

Post a Comment

Thanks for comments, I will reply soon!